JAKARTA - Penanganan pengungsi pascabencana di Sumatera kembali menjadi perhatian pemerintah, terutama terkait perlindungan kelompok rentan.
Selain pemenuhan kebutuhan dasar, aspek keamanan dan kenyamanan di lokasi pengungsian dinilai krusial agar warga, khususnya perempuan dan anak, terhindar dari risiko kekerasan.
Dalam konteks inilah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi mengajukan sejumlah usulan penting untuk memperbaiki tata kelola pengungsian.
Arifatul menekankan bahwa penanganan pengungsi tidak cukup hanya menyediakan tempat berlindung, tetapi juga harus memperhatikan desain dan pengaturan yang ramah bagi keluarga.
Menurutnya, pengelolaan pengungsian yang sensitif terhadap isu gender dan perlindungan anak menjadi kunci untuk meminimalkan dampak lanjutan dari bencana, terutama trauma dan potensi kekerasan.
Usulan Tenda Berbasis Keluarga di Pengungsian
Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi mengusulkan agar tenda pengungsian di wilayah terdampak bencana Sumatera disusun berbasis keluarga. Usulan tersebut bertujuan menciptakan ruang yang lebih aman dan privat bagi pengungsi, khususnya perempuan dan anak-anak.
“Kemudian yang kedua adalah kami mengusulkan koordinasi bahwa tenda berbasis keluarga. Ini untuk mengantisipasi terjadinya kemungkinan adanya kekerasan,” ucap Arifatul.
Menurut Arifatul, tenda yang menampung terlalu banyak orang tanpa pembagian yang jelas berpotensi menimbulkan kerawanan, terutama pada malam hari.
Dengan konsep tenda keluarga, setiap unit pengungsian dapat dihuni oleh satu keluarga sehingga interaksi antarindividu lebih terkontrol dan rasa aman dapat ditingkatkan.
Ia menilai pendekatan tersebut juga dapat membantu menjaga kondisi psikologis pengungsi. Keluarga yang berada dalam satu tenda cenderung merasa lebih nyaman dan terlindungi, sehingga mampu mengurangi tekanan mental akibat kehilangan tempat tinggal dan lingkungan yang aman.
Pentingnya Toilet Terpisah untuk Keamanan
Selain tenda berbasis keluarga, Arifatul juga menyoroti pentingnya fasilitas sanitasi yang ramah gender di lokasi pengungsian. Ia mengusulkan agar toilet untuk perempuan dan laki-laki dipisahkan secara jelas sebagai langkah preventif terhadap potensi kekerasan seksual.
“Yang ketiga adalah kami juga mengusulkan toilet yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Jadi ini yang prioritas kami lakukan,” ucapnya.
Menurut Arifatul, fasilitas toilet yang digunakan secara bersama tanpa pemisahan berisiko menimbulkan rasa tidak aman, terutama bagi perempuan dan anak. Dengan adanya toilet terpisah, pengungsi perempuan diharapkan dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan lebih nyaman dan bermartabat.
Pemisahan toilet ini juga menjadi bagian dari standar minimum perlindungan pengungsi yang sensitif terhadap kebutuhan spesifik perempuan dan anak. Arifatul menegaskan bahwa aspek-aspek seperti ini tidak boleh diabaikan dalam penanganan bencana.
Trauma Healing dan Pemenuhan Kebutuhan Spesifik
Atas arahan Presiden RI Prabowo Subianto, Kementerian PPPA telah melakukan berbagai langkah kolaboratif untuk mengatasi dampak bencana di Sumatera. Sejak awal kejadian, kementerian tersebut langsung berkoordinasi dengan dinas terkait guna memetakan kondisi perempuan dan anak di wilayah terdampak.
“Yang bisa kita jangkau, kita lakukan trauma healing dan yang prioritas adalah pemenuhan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak,” ucap Arifatul.
Ia menjelaskan bahwa meskipun anak-anak di pengungsian tampak bermain dan beraktivitas seperti biasa, bukan berarti mereka terbebas dari dampak psikologis. Trauma akibat bencana dapat tertanam dan berpengaruh hingga dewasa jika tidak ditangani dengan tepat.
Oleh karena itu, Kementerian PPPA menaruh perhatian besar pada layanan trauma healing yang disesuaikan dengan kondisi anak dan perempuan. Pendekatan ini dilakukan secara bertahap dan melibatkan berbagai pihak, termasuk relawan dan tenaga profesional, agar pemulihan psikologis dapat berjalan optimal.
Penguatan Ekonomi Perempuan Pascabencana
Selain aspek perlindungan dan pemulihan psikologis, Arifatul juga menegaskan pentingnya penguatan ekonomi bagi perempuan di wilayah terdampak bencana. Menurutnya, ketahanan ekonomi menjadi salah satu fondasi utama agar keluarga dapat bangkit dan mandiri setelah bencana.
“Penguatan ekonomi akan kita lakukan berbasis kearifan lokal masing-masing. Jadi kita dari pemerintah bersinergi, berkolaborasi bersama-sama untuk memberikan layanan terbaik untuk masyarakat kita di daerah bencana,” tuturnya.
Program penguatan ekonomi ini dirancang dengan memanfaatkan potensi lokal yang dimiliki setiap daerah. Dengan demikian, perempuan dapat diberdayakan melalui kegiatan produktif yang sesuai dengan budaya dan sumber daya setempat.
Arifatul menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam proses pemulihan ekonomi tidak hanya berdampak pada kesejahteraan keluarga, tetapi juga mempercepat pemulihan sosial di komunitas terdampak. Perempuan yang berdaya secara ekonomi cenderung lebih mampu menjaga ketahanan keluarga di tengah situasi pascabencana.
Secara keseluruhan, usulan tenda berbasis keluarga dan toilet terpisah mencerminkan pendekatan penanganan bencana yang lebih berperspektif perlindungan. Kementerian PPPA berharap, melalui sinergi lintas sektor, pengelolaan pengungsian di Sumatera dapat semakin aman, layak, dan ramah bagi perempuan serta anak.
Dengan memperhatikan aspek keamanan, kesehatan mental, dan kemandirian ekonomi, pemerintah menargetkan pemulihan pascabencana tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga menyentuh dimensi sosial dan kemanusiaan secara menyeluruh.